Ibu …
Setiap malam aku memandang anak-anakku, cucu-cucumu, yang tengah terlelap dalam tidur. Kutitip rasa cinta pada mereka lewat doa, “Semoga kau mimpi indah, Nak. Memimpikan kita berlari-lari dan bercanda di surga yang indah ….”
Setiap malam aku memandang anak-anakku, cucu-cucumu, yang tengah terlelap dalam tidur. Kutitip rasa cinta pada mereka lewat doa, “Semoga kau mimpi indah, Nak. Memimpikan kita berlari-lari dan bercanda di surga yang indah ….”
Dan, setiap doa itu mengalir untuk anak-anakku, sungguh hati dan pikiranku tak bisa kucegah, berhamburan padamu, mengingatmu. Tiba-tiba aku merasa mampu membaca apa yang bergejolak dan memenuhi rongga batinmu selama ini: bahwa kau teramat mencintaiku.
Ibu …
Kini aku paham apa arti air mata yang selalu mengalir deras di pematang pipimu. Air mata yang lahir saat menyambut tangisku dari gua garbamu. Aku pun begitu. Air mata itu pernah terkuras untuk anakku, dan untukmu Ibu.
Kini aku paham apa arti air mata yang selalu mengalir deras di pematang pipimu. Air mata yang lahir saat menyambut tangisku dari gua garbamu. Aku pun begitu. Air mata itu pernah terkuras untuk anakku, dan untukmu Ibu.
Ya, untukmu Ibu. Sungguh, rasa sakit dari sayatan pisau itu tak terbanding sama sekali dengan rasa sakit karena rasa dosaku padamu. Kumohon maafmu dengan seluruh kerendahan hatiku, Ibu. Meski khilafku tak pernah tertampung dalam besarnya wadah, tapi aku yakin cawan cintamu tak pernah habis untukku.
Terima kasih, Ibu, telah kau-ikhlaskan rahimmu menjadi tempat aku berteduh.
Terima kasih, Ibu, telah kaujaga rumah pertamaku dengan sepenuh hatimu, dengan suka citamu.
Terima kasih, Ibu, telah kaujaga rumah pertamaku dengan sepenuh hatimu, dengan suka citamu.
Ibu …
Kini aku semakin paham apa arti air mata yang selalu menderas di kedua pematang pipimu itu. Saat kaubuka pintu dengan senyum, melepasku mengembara ke masa depan, lalu kausembunyikan air mata itu di celah-celah cintamu yang membuncah. Segunung harapan dan doa-doa kaulantunkan untukku, Ibu. Hingga kau buka kembali pintu itu untuk menyambutku. Aku laksana pahlawan yang disambut senyum seribu bidadari. Senyum terindah yang pernah kujumpa di sepanjang pengembaraanku.
Kini aku semakin paham apa arti air mata yang selalu menderas di kedua pematang pipimu itu. Saat kaubuka pintu dengan senyum, melepasku mengembara ke masa depan, lalu kausembunyikan air mata itu di celah-celah cintamu yang membuncah. Segunung harapan dan doa-doa kaulantunkan untukku, Ibu. Hingga kau buka kembali pintu itu untuk menyambutku. Aku laksana pahlawan yang disambut senyum seribu bidadari. Senyum terindah yang pernah kujumpa di sepanjang pengembaraanku.
Terima kasih, Ibu, kaujadikan aku matahari, yang semakin bermakna dengan senyum tulusmu.
Terima kasih, Ibu, kaujadikan aku rembulan, yang semakin berharga dengan seluruh harapanmu padaku.
Terima kasih, Ibu, kaujadikan aku rembulan, yang semakin berharga dengan seluruh harapanmu padaku.
Ibu …
Kini air mata itu berganti mengalir deras di kedua pematang pipiku, ketika kaupungut daun-daun menguning yang jatuh di halaman rumah kita. Kau tahu Ibu? Aku sungguh takut kehilanganmu.
Kini air mata itu berganti mengalir deras di kedua pematang pipiku, ketika kaupungut daun-daun menguning yang jatuh di halaman rumah kita. Kau tahu Ibu? Aku sungguh takut kehilanganmu.
Salam takzim untukmu, dengan seluruh kerendahan hatiku. Semoga Allah selalu mencintaimu *..
Seketika ku teringat akan suatu ungkap ucap yang mulia,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang terhadap seorang ibu, harus tiga kali lipat besarnya dibandingkan terhadap seorang ayah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali, sementara kata ayah hanya satu kali. Bila hal itu sudah kita mengerti, realitas lain bisa menguatkan pengertian tersebut. Karena kesulitan dalammenghadapi masa hamil, kesulitan ketikamelahirkan, dan kesulitan pada saat menyusui dan merawat anak, hanya dialami oleh seorang ibu. Ketiga bentuk kehormatan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu, seorang ayah tidak memilikinya. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi X : 239. al-Qadhi Iyadh menyatakan bahwa ibu memiliki keutamaan yang lebih besar dibandingkan ayah)
Begitu pula dengan Imam Adz-Dzahabi rahimahullaah, beliauberkata dalam kitabnya Al-Kabaair,
Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun.
Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya.
Dia telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu.
Dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu dari padadirinya serta makanannya.
Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu.
Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu.
Seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras.
Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik.
Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan.
Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu.
Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar.
Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan.
Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu.
Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat.
Berat rasanya atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah.
Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek.
Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.
Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut.
Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu.
Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin.
(Akan dikatakan kepadanya),
ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
“Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya”. (QS. Al-Hajj : 10)
(Al-Kabaair hal. 53-54, Maktabatush Shoffa, Dar Albaian)
Demikianlah dijelaskan oleh Imam Adz-Dzahabi tentang besarnya jasa seorang ibu terhadap anak dan menjelaskan bahwa jasa orang tua kepada anak tidak bisa dihitung.
Yah, kita mungkin tidak punya kapasitas untuk menghitung satu demi satu hak-hak yang dimiliki seorang ibu. Islam hanya menekankan kepada kita untuk sedapat mungkin menghormati, memuliakan dan menyucikan kedudukan sang ibu dengan melakukan hal-hal terbaik yang dapat kita lakukan, demi kebahagiannya.
*(Maaf kado cintaku untukmu belum juga selesai kubungkus, karena belum juga kutemukan hadiah yang pantas untukmu.)