Islam itu indah. Diantara bukti keindahannya, adalah memerintahkan para pemeluknya untuk berhias dengan akhlak mulia, yang merupakan salah satu tujuan diutusnya Nabi Muhammad , sebagaimana hal ini tertuang dalam hadits Abu Hurairah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
(( إِنَّمَا بُعِثْتُ لأتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ ))
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi di dalam Al-Kubro [10/191]).
Akhlak mulia sangat banyak dan bervariasi sebagaimana yang telah diketahui oleh setiap orang. Namun terkadang seorang enggan mengamalkan dan mempraktekkannya. Bahkan sebaliknya, ada saja orang yang berakhlak buruk dalam bermuamalah dengan manusia, sehingga mengakibatkan kekacauan dan kerusakan dalam masyarakat.
Di antara akhlaq mulia yang diajarkan oleh Islam adalah menunaikan amanah. Hal ini banyak dilalaikan manusia, padahal kalau ia mencermati dan menghayatinya, niscaya akan menyimpulkan betapa pentingnya menunaikan amanah yang merupakan indikasi kejujuran seseorang. Oleh karena itu, seyogyanya setiap muslim mengetahui dan memahami makna amanah, agar tidak mudah menyia-nyiakan amanah yang diembannya.
Makna Amanah
Ar-Raghib Al-Ashfahani berkata: “Amanah ialah yang dipercayakan kepada manusia, ada yang mengartikannya tauhid sebagaimana surat Al-Ahzab:72, sebagian ulama lain menafsirkan dengan makna keadilan, mengenal huruf hijaiyyah dan akal. Amanah dengan arti akal inilah yang benar, karena dengan mengenal akal, dapat berbuat adil dan dapat mengenal huruf hijaiyyah.Bahkan dengan akal dapat manusia kenal sesuatu sesuai dengan kemampuannya dan mampu mengerjakan sesuatu yang dianggap baik. Dengan akal, manusia memiliki kelebihan di banding makhluk yang lain”. (Lihat Kitab Mufrodat Al-Fardhul Quran:90).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Amanah adalah lawan khianat”. (Lihat Fat-hul Bari 11/333)
Kesimpulannya adalah : “Amanah adalah tanggung jawab yang dipikulkan kepada manusia, dengan dibekali akal agar menjadi hamba yang mentauhidkan Allah, ta’at kepada-Nya dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan, berbuat adil mengerjakan kewajiban seperti shalat, puasa dan ibadah lainnya.
Adapun yang berhubungan dengan manusia, seperti amanah suami istri, pinjam meminjam, titipan dan lainnya, itu semua bila dilaksanakan dengan baik akan mendapatkan pahala dan bila sengaja diabaikan akan dapat siksa”.
Adapun macam-macam amanah banyak sekali, Ibnu Katsir berkata:‘Ulama berbeda-beda dalam mengartikan “amanah” sebaga berikut:
1. Menunaikan kewajiban. ( Pendapat Ibnu Abbas ).
2. Wajib ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. ( Pendapat para ulama ).
3. Amanah kepada wanita agar menjaga farjinya. ( Pendapat Ubay bin K a’ab ).
4. Amanah berpegang kepada agama dan melaksanakan hukum pidana menurut agama islam. ( pendapat Qotadah ).
5. Amanah ketika mengerjakan shalat, puasa, dan mandi jinabah. ( pendapat Zaid bin Aslam ).
Selanjutnya, Ibnu Katsir berkata: “Semua pendapat ini tidaklah saling bertentangan satu dengan yang lainnya, bahkan saling menguatkan. Yaitu kembali kepada beban dan menerima perintah dan larangan dengan persyaratannya, bila dikerjakan dapat pahala, jika ditinggalkan akan mendapat siksa.”(Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/523, lihat Tafsir Al-Qurthubi 14/255).
Makna Amanah Dalam Al-Qur’an
Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah telah menyebutkan tiga makna amanah yang terdapat dalam Al-Qur’an yaitu:
A. Al-Faraaidh (kewajiban). Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ تَخُوْنُوا اللهَ وَالرَسُوْلَ وَتَخُوْنُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui.” (Qs. Al-Anfal:27)
B. Al-Wadi’iyah (barang titipan). Allah berfirman:
إنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلىَ أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (Qs. An-Nisa: 58)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata didalam tafsirnya (Taisiir Al Kariim ArRahmaan ) menafsirkan ayat diatas yaitu; “Amanah adalah segala apa yang diperintahkan kepada seseorang dan diperintah untuk menunaikannya. Allah memerintahkan para hamba-Nya agar menunaikan amanah secara sempurna, tidak kurang dan tidak merugikan serta tidak menunda-nunda.” Yang termasuk hal ini adalah amanah-amanah kekuasaan, harta, rahasia serta semua perintah yang tidak dapat dilihat kecuali Allah .
Para fuqaha telah menyebutkan; “Bahwa siapa saja yang diberi amanah, maka wajib baginya untuk menjaganya.” Mereka juga mengatakan; “Karena amanah ini tidak mungkin ditunaikan kecuali dengan menjaganya.” Allah berfirman:
(( إِلىَ أَهْلِهَا ))
“kepada yang berhak menerimanya.”
Ini adalah bukti bahwasanya amanah tidak boleh disampaikan dan ditunaikan melainkan kepada yang berhak atau yang mewakilinya. Kalau seandainya amanah disampaikan kepada yang tidak berhak berarti ia belum menunaikannya.
C. Al-‘Iffah was shiyaanah (menjaga kehormatan)
Allah berfirman: ketika menceritakan Nabi Musa ,
قَالَتْ إِحْدَهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَئْجِرْهُ، إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَئْجِرْتَ القَوِيُّ الأَمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dipercaya.” (Qs. Al-Qashash: 26)
Maksudnya ialah bahwasanya Nabi Musa adalah sebaik-baik orang yang dipekerjakan, karena terhimpun dalam dirinya dua sifat yang mulia yaitu; kemampuan dan amanah.
Macam-Macam Amanah
A. Amanah yang berkaitan dengan hak-hak Allah , yaitu seluruh kewajiban syari’at yang Allah wajibkan kepada para hamba-Nya yang mukmin, lalu sang hamba melaksanakannya dengan sebenar-benarnya.
Macam amanah inilah yang sangat berat untuk ditunaikan oleh manusia, padahal dahulu amanah ini Allah tawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Akan tetapi semua enggan memikulnya karena berat tanggung jawabnya pada hari Kiamat.
Allah berfirman ta’ala berfirman :
إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلاَ
“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi, gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu, mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”(Qs. Al-Ahzab: 72)
B. Amanah yang berkaitan dengan hak-hak hamba, yaitu amanah dipercayakan kepada yang lainnya. Seperti; harta, rahasia dan lain-lain. Oleh karena itu, apabila seseorang menitipkan barang kepada saudaranya maka disunnahkan baginya untuk menerimanya jika ia mengetahui kemampuan dirinya untuk menjaganya, karena hal itu termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Dan wajib bagi orang yang dititipi barang tersebut mengembalikannya kapan saja diminta, begitu juga dengan menjaga rahasia. Kepemimpinan merupakan amanah pula yang wajib bagi pimpinan wilayah untuk menunaikannya, seperti; berbuat adil terhadap rakyatnya dan tidak berbuat zhalim atau aniaya terhadap mereka.
Khususnya dalam masalah harta, maka haram baginya untuk memakan harta mereka dengan cara yang tidak diperbolehkan, seperti; korupsi terhadap uang negara atau menggunakannya di jalan yang tidak benar dan menghambur-hamburkannya.
Perintah Menunaikan Amanah
Allah telah memerintahkan orang-orang mukmin untuk melaksanakan dan menunaikan amanah dalam banyak ayat, di antaranya adalah firman Allah ta’ala :
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلىَ أَهْلِهَا
“Sesunnguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa’: 58 )
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam juga memerintahkan kepada umatnya untuk menunaikan amanah. Sebagaimana sabda beliau :
((أَدِّ الأَمَانَةَ إِلىَ مَنْ ائْتَمَنَكَ))
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang telah mempercayakanmu.” (HR.Abu Dawud (3/29) dan Tirmidzi (3/564) dari hadits Abu Hurairah dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 240)
Bahkan beliau memberitahukan bahwa berkhianat terhadap amanah yang dipikulnya merupakan salah satu sifat orang munafik, Beliau bersabda:
(( آيَةُ المْنُاَفِقِ ثَلاَتٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ ))
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga: yaitu apabila berkata ia berdusta, apabila ia berjanji ia mengingkari, dan bila dipercaya ia berkhianat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Balasan Bagi Orang Yang Amanah
Amanah itu bagaikan harta yang paling mahal. Seorang yang menjaga dan menunaikan amanah dan menjaga shalat-shalatnya, akan mendapatkan kebaikan yang sangat banyak, dan derajat yang paling tinggi di sisi Allah berupa masuk ke dalam surga tertinggi yaitu surga firdaus. Sebagaimana firman Allah dalam (QS. Al-Mu’minun: 8-11)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda :
(( أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيْكَ فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا حِفْظُ أَمَانَةٍ وَ صِدْقُ حَدِيْثٍ وَحُسْنُ خَلِيْقَةٍ وَعِفَّةٌ فِي طَعْمَةٍ ))
“Ada empat hal yang apabila terdapat pada dirimu maka tidak akan luput darimu dunia ini, yaitu menjaga amanah, jujur dalam berbicara dan akhlak yang baik serta iffah (menjaga kehormatan diri) ketika makan (menjaga dari hal-hal yang haram dalam makanan).” (HR. Ahmad (2/177) dan Baihaqi (4/321) dari Abdullah bin ‘Amr. Lihat dalam kitab As-Silsilah As-Shahihah no. 733)
Siapa Orang Yang Paling Amanah
Bahwasanya para Rasul adalah orang yang paling tinggi derajat dan kedudukannya di sisi Allah . Mereka juga adalah orang yang paling tinggi sifat amanahnya dalam menyampaikan risalah yang diemban, Karena itu, sudah selayaknya mereka disifati dengan al-amin (orang yang terpercaya). Allah memberitakan tentang para rasul yang diutus kepada kaumnya seperti; Nabi Nuh, Hud, Shalih, Musa dan yang lainnya tatkala mereka didustakan oleh kaumnya, para Rasul itu pun mengatakan:
إنِّي لَكُمْ رَسُوْلٌ أَمِيْن
“Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepada kalian.” (QS. As-Sy’ara:107)
Demikian pula Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam telah dijuluki oleh kaum Quraisy dengan sebutan al-amin ( orang yang dipercaya ). Para sahabat beliau adalah orang-orang yang amanah. Juga diantara adalah mereka adalah sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah . Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam :
(( وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِيْن وَ أَمِين هَذِهِ ألأُمَةِ أَبُوْ عُبَيْدَةَ بنِ الجَرَّاحِ ))
“… dan setiap umat memiliki seorang amin, dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bi Al-Jarrah.” (HR. Al-Bukhari (4/1592) dan (6/2649) dari hadits Anas bin Malik dan lain-lain)
Amanah Di Akhir Zaman
Terangkatnya amanah dari pundak-pundak manusia merupakan suatu musibah yang paling besar di akhir zaman, sehingga hampir tidak didapatkan orang yang betul-betul bisa menunaikan amanahnya.
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman berkata: bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bercerita tentang dua peristiwa. Pertama: aku sudah mengetahui kejadiannya. Sedangkan yang kedua aku sedang menunggunya.
Pertama beliau bercerita bahwa amanah itu datang ke lubuk hati manusia, kemudian turunlah Al-Qur’an, maka mereka mengetahui dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kedua beliau menceritakan tentang dicabutnya amanah yaitu seorang laki-laki tidur sejenak kemudian dicabutlah amanah itu dari hatinya, sehingga yang tersisa hanya sedikit kemudian ia tidur lagi maka tercabutlah pula sisa amanah itu. Dan yang ada hanya bekasnya seperti bara api yang terinjak telapak kaki dan menimbulkan bengkak, sedangkan kamu melihat bahwa di situ tidak ada apa-apa. Sambil memberi contoh, beliau mengambil batu kerikil kemudian diinjak dengan kakinya. Setelah itu, orang-orang kembali saling mengikat (janji), tetapi tidak terdapat seorang pun yang menunaikan amanah. Sehingga kalau ada seseorng yang dapat dipercaya pada suatu kabilah, dikatakan padanya: “Alangkah cerdiknya ia, alangkah beruntungnya dia dan alangkah kuatnya ia.” Padahal di dalam hatinya tidak ada keimanan (meskipun) sebesar biji dzarroh ( Muttafaqun ‘Alaih )
Telah datang seorang badui kepada Rasulullah seraya berkata: “Kapankah hari Kiamat akan datang?” Beliau menjawab: “Apabila telah disia-siakannya amanah, maka tunggulah hari Kiamat.” Orang tersebut kembali bertanya: “Bagaimana disia-siakannya wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab: “Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat.” (HR. Bukhari [1/33] dan yang selainnya)
Pertama beliau bercerita bahwa amanah itu datang ke lubuk hati manusia, kemudian turunlah Al-Qur’an, maka mereka mengetahui dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kedua beliau menceritakan tentang dicabutnya amanah yaitu seorang laki-laki tidur sejenak kemudian dicabutlah amanah itu dari hatinya, sehingga yang tersisa hanya sedikit kemudian ia tidur lagi maka tercabutlah pula sisa amanah itu. Dan yang ada hanya bekasnya seperti bara api yang terinjak telapak kaki dan menimbulkan bengkak, sedangkan kamu melihat bahwa di situ tidak ada apa-apa. Sambil memberi contoh, beliau mengambil batu kerikil kemudian diinjak dengan kakinya. Setelah itu, orang-orang kembali saling mengikat (janji), tetapi tidak terdapat seorang pun yang menunaikan amanah. Sehingga kalau ada seseorng yang dapat dipercaya pada suatu kabilah, dikatakan padanya: “Alangkah cerdiknya ia, alangkah beruntungnya dia dan alangkah kuatnya ia.” Padahal di dalam hatinya tidak ada keimanan (meskipun) sebesar biji dzarroh ( Muttafaqun ‘Alaih )
Telah datang seorang badui kepada Rasulullah seraya berkata: “Kapankah hari Kiamat akan datang?” Beliau menjawab: “Apabila telah disia-siakannya amanah, maka tunggulah hari Kiamat.” Orang tersebut kembali bertanya: “Bagaimana disia-siakannya wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab: “Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat.” (HR. Bukhari [1/33] dan yang selainnya)
Inilah beberapa hal yang berkaitan dengan masalah amanah.
Semoga bermanfaat bagi kita sekalian dengan manfaat yang sangat banyak. Diharapkan setiap muslim benar-benar memperhatikan dan menjaga amanah saudaranya serta menunaikannya secara sempurna hingga menjadi orang yang beruntung hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak. Wallaahu a’lam