Hadits-hadits Anjuran Bercocok Tanam (Bagian I)
Di musim penghujan ini saya akan
menuliskan beberapa hadits yang
memotivasi umat islam untuk bercocok tanam.
Ya tidak seperti biasanya saya menulis tentang aktivitas berkebun
di sekitar rumah. Sebelumnya ini bukan bermaksud
untuk melariskan dagangan saya (sebagaimana saya masih ingat pada pelajaran
mustalah hadits dijelaskan tentang salah satu sebab tersebarnya hadits lemah
dan palsu adalah ulah para pedagang dengan menyebarkan hadits yang mendukung dagangannya
agar laris) .
Tetapi menyempatkan momen Musim hujan ini untuk mengajak pembaca blog saya, belajar agama islam dengan melihat
islam dari sisi lain.
Dan jangan khawatir hadits-hadits
yang saya sebutkan semuanya shahih ataupun hasan dari sumber yang terpercaya.
Bagi yang sudah pernah membaca
hadits-hadits yang akan saya sebutkan maka ini sebagai bentuk pengingat saja. Bagi
yang belum pernah, maka ketahuilah inilah agamamu islam.
1. Dari Jabir bin Abdullah Rodhiyallohu
‘Anhu dia bercerita bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ
يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا سُرِقَ
مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ
لَهُ صَدَقَةً وَ لاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَة
“Tidaklah seorang muslim menanam
suatu pohon melainkan apa yang dimakan dari tanaman itu sebagai sedekah
baginya, dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut sebagai sedekah baginya dan
tidaklah kepunyaan seorang itu dikurangi melainkan menjadi sedekah baginya.”
(HR. Imam Muslim Hadits no.1552)
2. Dari Anas bin Malik Rodhiyallahu
‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ
يَغْرِسُ غَرْسًا, أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ
أَوْ بَهِيْمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
“Tidaklah seorang muslim menanam
pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian pohon/ tanaman tersebut dimakan oleh
burung, manusia atau binatang melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam
Bukhari hadits no.2321)
3.Dari Jabir bin Abdullah Rodhiyallohu
‘Anhu dia berkata, telah bersabda Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:
فَلاَ يَغْرِسُ
الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَ لاَ دَابَّةٌ وَ لاَ طَيْرٌ
إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah seorang muslim menanam
tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang ataupun burung melainkan tanaman
itu menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat.” (HR. Imam Muslim hadits no.1552)
Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah
menjelaskan bahwa hadits-hadits tersebut merupakan dalil-dalil yang jelas mengenai
anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bercocok tanam, karena di
dalam bercocok tanam terdapat 2 manfaat
yaitu manfaat dunia dan manfaat agama.
Pertama: Manfaat yang bersifat Dunia (dunyawiyah) dari bercocok
tanam adalah menghasilkan produksi (menyediakan bahan makanan).
Karena dalam bercocok tanam, yang bisa mengambil manfaatnya, selain petani itu sendiri
juga masyarakat dan negerinya.
Lihatlah setiap orang mengkonsumsi hasil-hasil
pertanian baik sayuran dan buah-buahan, biji-bijian maupun palawija yang kesemuanya
merupakan kebutuhan mereka. Mereka rela mengeluarkan uang karena mereka butuh
kepada hasil-hasil pertaniannya. Maka orang-orang yang bercocok tanam telah
memberikan manfaat dengan menyediakan hal-hal yang dibutuhkan manusia. Sehingga
hasil tanamannya menjadi manfaat untuk masyarakat dan memperbanyak
kebaikan-kebaikannya.
Saya tambahkan: “Bahkan manfaatnya bukan sebatas penyedian
makanan bagi orang lain saja tetapi juga dengan bercocok tanam juga menjadikan
lingkungan menjadi lebih sehat untuk manusia dimana udara menjadi segar karena tanaman
menghasilkan oksigen yang diperlukan oleh manusia untuk proses pernafasan.
Tanaman berupa pepohonan juga memberikan kerindangan bagi orang-orang yang
berteduh di bawahnya, kesejukan bagi orang yang ada di sekitarnya. Tanaman juga
menjadikan pemandangan alam yang enak dan indah dipandang.
Lihatlah hamparan tanah yang dipenuhi oleh tanam- tanaman
tentunya hati dibuat senang melihatnya, perasaan pun menjadi damai berada di
dekatnya. Adapun bila melihat hamparan tanah yang kering dan gersang dari
tanaman-tanaman tentu lah kita memperoleh perasaan yang sebaliknya.”
Kedua: Manfaat yang bersifat agama (diniyyah) yaitu berupa
pahala atau ganjaran. Sesungguhnya tanaman yang kita tanam apabila dimakan oleh
manusia, binatang baik berupa burung ataupun yang lainnya meskipun satu biji saja,
sesungguhnya itu adalah merupakan sedekah bagi penanamnya, sama saja apakah dia
kehendaki ataupun tidak, bahkan seandainya ditakdirkan bahwa seseorang itu ketika
menanamnya tidak memperdulikan perkara ini (perkara tentang apa yang dimakan
dari tanamannya
merupakan sedekah) kemudian
apabila terjadi tanamannya dimakan maka itu tetap merupakan sedekah baginya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
seorang muslim akan mendapat pahala dari hartanya yang dicuri, dirampas atau dirusak
dengan syarat dia tetap bersabar dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala.
Dari ketiga hadits diatas dapat
diambil pelajaran bahwa perbuatan yang dilakukan seorang muslim yang pada hakekatnya
hanya berupa sebuah hal yang mubah, yaitu bercocok tanam tetapi pelakunya dapat
memperoleh pahala. Walaupun itu asalnya bukan suatu ibadah tapi bisa bernilai
ibadah dan akan mendapat pahala. Berbeda dengan orang kafir segala perbuatannya
tidak bernilai di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, walaupun mereka mereka mengklaim
beribadah setiap bulan, setiap pekan, setiap hari bahkan setiap sa’at tidaklah
dianggap disisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai suatu ibadah. Maka hadits ini
merupakan dalil keutamaan memeluk agama islam dan meruginya menjadi orang
kafir.
Sesungguhnya segala perkara
perkara bagi seorang muslim adalah bisa bernilai ibadah dan mempunyai kebaikan sebagaiman
hadits dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan Rodhiyallohu ‘Anhu dia berkata, telah
bersabda Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:
عَجَبًا لأَمْرِ
الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَ لَيْسَ ذَلِكَ لأَحَدٍ إِلاَّ
لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ, وَ إِنْ
أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Menakjubkan pada perkara seorang
mukmin sesungguhnya perkaranya semuanya baginya adalah
kebaikan, dan tidaklah itu
didapatkan melainkan oleh seorang mukmin: jika dia mendapatkan kesenangan (nikmat)
dia bersyukur maka itu adalah kebaikan baginya dan jika kesulitan (musibah)
menimpanya kemudian dia bersabar maka itu adalah kebaikan baginya.”(HR. Imam Muslim
lihat kitab Riyadhush Shalihin hadits no.27)
Syaikh Utsaimin rohimahulloh juga menambahkan bahwa perkara
ini memang menakjubkan. Yaitu seandainya ada seorang pencuri mencuri tanaman
seseorang, misalnya ada seorang datang ke sebatang pohon kurma kemudian mencuri
kurma. Maka bagi si pemilik kurma justru memperoleh pahala atas peristiwa pencurian kurma tersebut.
Meskipun di sisi lain sekiranya dia mengetahui siapa pencurinya maka dia harus
dilaporkan ke pihak berwajib.
Mengapakah bisa semua hasil
tanaman yang ditanam itu merupakan sedekah? Ini tidaklah bertentangan bahkan sesuai
dengan kaidah agama yaitu kaidah bahwa seseorang tidak akan memperoleh kebaikan
(pahala atau ganjaran) kecuali atas hasil usahanya sendiri, demikian juga sebaliknya
seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain. Maka kalau kita perhatikan
tanaman kita merupakan hasil usaha yang baik yang akan menjadi sedekah walaupun
dimakan atau diambil tanpa seizin kita. Betapa bagusnya penjelasan Ustadz
‘Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah berikut: “Apabila kita telah memahami
kaidah ini maka terjawablah pertanyaan dan tersingkaplah kemusykilan-kemusykilan
serta lapang lah dada dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an yang menegaskan bahwa
seseorang tidak akan memperoleh kebaikan (pahala dan ganjaran) kecuali atas
hasil usahanya sendiri. Diantaranya ialah ayat yang masyhur dibawah ini:
وَ أَنْ لَيْسَ
للإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seseorang itu
tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali dari hasil usahanya sendiri.” (QS. An Najm:
39).
Ayat di atas merupakan kaidah
ilmiyyah yang umum dan tetap di dalam keumumannya dan tidak menerima pengecualian
(takhshish) yang memang tidak ada sama sekali: bahwa seorang tidak akan
memperoleh pahala atau ganjaran kecuali atas hasil usahanya sendiri.
Seperti seseorang menanam sebuah
pohon atau tanaman, maka apa saja yang dimakan dari buah pohon tersebut atau
tanaman tersebut yang ditanam, baik dengan seizin pemiliknya atau dicuri, baik
(dimakan) oleh manusia atau hewan niscaya pemiliknya atau yang menanamnya tetap
akan memperoleh ganjaran.”
Sesungguhnya tanaman yang dicuri
atau dirusak ataupun juga dimakan hewan merupakan hasil usaha dari petani maka
pantas lah kalau dia mendapat ganjaran dari tanaman yang luput dari tangannya
(tidak bisa dia panen).
wallahu a'lam...
______
@antara gambar dan postingan tulisan tidak nyambung
______
@antara gambar dan postingan tulisan tidak nyambung